Saturday, June 1, 2013

Lintang

          Ibunda guru,
          Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.
          Salamku, Lintang.


" SEORANG anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikitpun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi." Laskar Pelangi, hal. 430.

Entah kenapa minggu kemarin aku sangat ingin membaca kembali buku Laskar Pelangi karangan penulis hebat Andrea Hirata. Salah satu buku terbaik yang pernah aku baca. Sebuah buku yang menceritakan sebuah ironi besar dalam dunia pendidikan. Bagaimana kesenjangan sosial menawarkan kualitas pendidikan yang sangat jauh berbeda. Anak-anak melayu tak mampu, bertaruh dengan nasib mencoba meraih apa yang sudah seharusnya mereka raih. Para orangtua mempertaruhkan rupiah yang bisa didapat anak-anak melayu miskin itu jika mereka ikut bekerja, bukannya mengenyam bangku pendidikan. Semua dipertaruhkan mati-matian dengan harapan kelak sang anak mampu menaikkan derajat dan kualitas hidup keluarga. untuk kehidupan yang lebih baik.

LINTANG. Nama seorang anak yang mengubur mimpinya hari itu. Atau lebih tepatnya dipaksa mengubur mimpinya karena tak ada biaya. Karena ayahnya, pria cemara angin, satu-satunya tulang punggung keluarga itu telah mati. Anak lelaki pesisir miskin di salah satu pulau terkaya di Indonesia. Mimpi dan harapannya dibunuh oleh ironi kejam wajah pendidikan negeri ini. Seperti tikus yang mati kelaparan di lumbung padi.

Lintang hanya nama seorang anak korban ketidakpedulian negeri ini. Aku yakin di luar sana, di bagian bumi Indonesia lainnya, sampai saat ini masih banyak Lintang-Lintang lain yang harus mengandaskan mimpi-mimpi besar mereka hanya karena tidak memiliki biaya. Karena mimpi-mimpi mereka memudar ditelan busung-busung para pejabat yang bobrok.

Anak-anak kecil itu, anak-anak yang tidak tahu apa-apa itu, sampai saat ini, suara mereka tak pernahh didengar.

No comments: