Saturday, June 8, 2013

Kenapa Dia

Seperti biasanya, setiap hari minggu para penghuni panti asuhan Pertiwi melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan panti. Anak-anak perempuan membersihkan bagian dalam asrama panti dan para lelaki membersihkan halaman panti. Laluna mendapat tugas menyusun mainan di ruang bermain di dalam asrama bersama dua anak perempuan yang sudah lebih besar darinya. Laluna memisahkan mainan-mainan tersebut ke dalam kotak-kotak yang sudah disiapkan oleh ibu Aulia, salah satu pengurus panti. 

"Yang bener? Gak mimpi kan?" Sisil, gadis kecil 11 tahun dengan rambut digerai itu terkejut mendengar kabar dari temannya itu.

"Shhht... jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" Rubi, anak yang satu lagi menjawab sambil menutup mulut Sisil. "Iya, aku denger sendiri waktu bu Rahmi ngobrol sama pak Heri." tambahnya. 

"Waaaah... Siapa ya kira-kira yang beruntung, semoga aja aku." Sisil nyengir sambil berdoa.

"Diiih... Ngarep. Semoga aku yang dipilih." ujar Rubi yakin. Laluna masih belum mengerti apa yang dibicarakan oleh Rubi dan Sisil. 

"Semoga aja mereka orang baik, kan udah lama banget gak ada keluarga yang ngambil anak dari panti ini. Terakhir yang keluar si Bagas kan? Itupun udah 3 tahun yang lalu." Sisil duduk dan kembali merapikan mainan di dekatnya. 

"Kata bu Rahmi kemarin sih yang mau ngambil anak di sini sih orang kaya, dan mau pindah ke luar negeri gitu, mereka gak mau adopsi anak di luar negeri, jadi sebelum berangkat mereka mau ngadopsi anak dulu di Indonesia." Rubi masih menatap Sisil yang sibuk merapikan mainan sambil membayangkan seandinya dirinyalah yang terpilih untuk diadopsi kali ini. 

"Jadi kapan mereka datang?" tanpa sadar Laluna bertanya pada Rubi karena ingin tahu lebih banyak. Rubi menoleh ke arah Laluna sambil mengernyitkan keningnya. 

"Kupikir kau tidak bisa bicara." jawab Rubi sinis. "Mereka datang besok, lagi pula tidak ada hubungannya denganmu, mereka pasti akan memilih penghuni lama. Apalagi anak aneh sepertimu, mana ada keluarga yang mau." lanjutnya sambil mulai membereskan mainan yang masih berantakan. Laluna hanya diam.

Malamnya Laluna tidak bisa tidur karena memikirkan percakapan Rubi dan Sisil tadi siang. Apa benar akan ada keluarga yang datang besok? Bagaimana kalau keluarga itu memilihnya dan mengajaknya hidup di luar negeri? Menjalani kehidupan baru dengan keluarga baru pula. merasakan kasih sayang lagi. Sambil memeluk boneka kelinci usangnya Laluna perlahan terlelap. 

Keesokaan harinya sepulang sekolah, semua anak dikumpulkan di aula kecil di samping asrama yang biasa digunakan untuk acara-acara penting, seperti hari ini. Berita itu benar, anak-anak sudah harap-harap cemas sedari tadi. Sepasang suami istri yang tampak sangat baik sudah duduk di hadapan kami. Mereka adalah Pak Raka dan Ibu Anjani, mereka belum juga memiliki anak setelah lima tahun menikah dan akhirnya memutuskan untuk mengadopsi anak setelah pak Raka akan dipindah tugaskan ke Inggris. 

"Nah anak-anak, minggu lalu pak Raka dan Ibu Anjani sudah mengutarakan maksudnya untuk mengadopsi salah satu anak dari panti asuhan kita. Ibu sudah memberikan data-data kalian kepada mereka dan mereka sudah memilih satu di antara kalian. Ibu sangat senang bahwa salah satu dari kalian akan memiliki keluarga baru, Ibu dan semua orang di panti ini selalu mengharapkan yang terbaik untuk kalian semua. Ibu Anjani akan meyebutkan nama anak yang sudah mereka pilih untuk ikut bersama mereka." Bu Rahmi tersenyum haru saat mempersilakan ibu Anjani untuk berbicara.

"Halo anak-anak semua.. Kami berdua berpendapat bahwa kalian semua adalah anak yang baik, tetapi kami hanya bisa memilih satu orang anak saja." ibu Anjani terbata-bata. "Setelah berpikir satu minggu lebih akhirnya kami memutuskan siapa yang akan kami adopsi. Kami berdua akan mengadopsi seorang anak laki-laki. Dia adalah Bayu Ferdian." 

Laluna terdiam.

Di Bawah Pohon Itu

Bayu berlari-lari kecil dari kelasnya menuju pohon besar di samping perpustakaan sekolah, Laluna sudah menunggunya di sana. Sudah satu bulan terakhir ini Bayu dan Laluna selalu bersama, di asrama panti, sekolah, dan di taman belakang asrama. Anak-anak panti yang lain bahkan menyebut mereka dua orang aneh yang berjodoh, karena sebelum kedatangan Laluna Bayu nyaris tidak pernah tertarik untuk bergaul dengan anak panti lainnya. Bayu tersengal-sengal saat sampai di bawah pohon. Laluna menyambutnya dengan senyum manis.

"Maaf, tadi pak guru menyuruhku membersihkan papan tulis terlebih dahulu." ucap Bayu masih tersengal-sengal.

"Gak papa kok, aku juga baru sampai." Laluna nyengir. Bayu pun duduk di samping Laluna dan membuka kotak bekalnya.

"Ayo makan, aku udah laper." Bayu mengernyit sambil mengelus-elus perutnya. Laluna tersenyum dan mengangguk sambil membuka bekal makannya. Mereka makan dalam diam, yang terdengar hanyalah suara Bayu mengunyah makanannya dengan kecepatan super. Laluna hanya tersenyum simpul melihatnya.

"Aaaah... kenyang!" Bayu bersendawa kecil setelah melahap habis bekalnya hanya dalam hitungan menit, sedangkan Laluna baru menghabiskan setengah bekalnya. "Laluna, kau harus makan lebih cepat, kalau kau selalu lambat seperti ini, nanti kau pasti jadi yang paling kurus di panti." Bayu mengelus-elus perutnya yang membuncit. Laluna menoleh ke arah Bayu dan menatapnya lama. "Kau juga harus berhenti menatap orang seperti itu, nanti mereka mengira kalau kau suka pada mereka. Walau aku nggak keberatan sih.. hehehe..." Bayu nyengir ke arah Laluna, Laluna tersenyum simpul.

"Memang suka kok. Jadi nggak papa kan?" senyumnya merekah, wajah Bayu memerah. Bayu menatap sepatu usangnya, sesekali mencuri pandang ke arah Laluna yang masih makan dengan pelan. Gadis kecil itu tampak sangat rapuh, sampai-sampai Bayu bahkan takut untuk mengulurkan tangan ke arahnya, kalau-kalau Laluna akan menghilang tertiup angin. Walau sekarang Laluna sudah sering tertawa, Bayu tidak akan pernah melupakan suara gemetaran gadis kecil itu, yang selalu membuatnya terenyuh.

"Aku sudah selesai, kenyang sekali." suara Laluna membuyarkan lamunan Bayu. Bel tanda istirahat usai masih beberapa menit lagi, Bayu memandang Laluna yang sedang merapikan kotak bekalnya dengan sangat hati-hati.

"Laluna..." Laluna menegadah ke arah Bayu.

"Apa?" matanya berbinar-binar. Bayu menunduk lagi, ragu-ragu dengan apa yang akan dikatakannya.

"Laluna, kau tidak akan pernah sendiri lagi. Aku janji akan selalu menemanimu. Jangan lupakan itu ya!" ucapnya sambil beranjak meninggalkan Laluna yang masih terdiam disana menatap punggung Bayu. Laluna tersenyum kecil, rasanya sangat hangat saat seseorang berjanji akan selalu bersamamu, bahwa kau tidak akan pernah sendiri lagi, tidak akan ada kehilangan lagi. Laluna sangat senang mendengar kata-kata yang diucapkan Bayu padanya.

"Pulang sekolah nanti sama-sama ya!" teriak Laluna pada Bayu yang belum berjalan terlalu jauh, Bayu menoleh dan mengangguk pelan.

Tuesday, June 4, 2013

Laluna

Sudah satu minggu sejak kedatangan Laluna ke panti asuhan Pertiwi, sudah satu minggu Bayu mengikutinya kemana-mana, dan sudah satu minggu pula gadis kecil itu belum mau berteman dengan para penghuni panti lainnya. Jangankan berteman, bicara pun dia tidak pernah. Laluna tidak mau berbicara kepada siapapun, termasuk bu Rahmi. Informasi yang diperoleh tentangnya hanyalah ibunya yang seorang pengemis baru meninggal minggu lalu. Laluna ditemukan menangis sendirian dipinggir jalan dan baru diketahui bahwa dia sebatang kara.

Bayu selalu mengikuti Laluna kemana pun gadis kecil itu pergi, di asrama panti, di lobi, di taman kecil di halaman belakang asrama, dan juga di sekolah. Laluna didaftarkan ke kesekolah yang sama dengan Bayu dan anak-anak lainnya.

Di sekolah Laluna tidak pernah berbicara selain saat menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, itupun dengan jawaban seadannya. Saat tibanya waktu istirahat, Laluna selalu menghabiskan bekalnya sendirian di bawah pohon besar yang ada di samping perpustakaan sekolah, dan setiap waktu istirahat jugalah Bayu selalu datang ke perpustakaan, bukan untuk membaca tentunya tapi hanya sekedar untuk melihat Laluna.
Entah apa yang membuat Bayu sangat tertarik pada gadis kecil itu, tetapi sampai saat ini dia tidak bisa melupakan mata sembab dan suara gemetaran Laluna saat dia memperkenalkan dirinya satu minggu yang lalu. Mungkin Bayu merasa kasihan pada gadis malang itu, atau malah dia kasihan pada dirinya sendiri karena memiliki nasib yang sama.

Bayu sendiri berasal dari keluarga miskin rantauan. Ibunya meninggal karena sakit dua tahun yang lalu, dan ayahnya tewas dikeroyok massa setelah tertangkap tangan saat mencopet dompet seorang wanita di pasar pagi. Dia tidak punya keluarga lain sehingga petugas sosial melimpahkan dirinya untuk diurus di panti asuhan ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore saat Bayu melihat Laluna berjalan ke taman belakang, tanpa sadar kaki Bayu sudah melangkah mengikutinya. Dari kejauhan Bayu melihat Laluna sedang berjongkok di depan bunga-bunga taman, tangan kirinya tetap memegang erat telinga boneka kelinci kumalnya yang nyaris putus.
Bayu maju perlahan mendekati Laluna. Tak ingin mengejutkan gadis kecil itu Bayu terbatuk kecil. Laluna menoleh, ada sedikit ketakutan diwajah polosnya, tapi dia tidak mengalihkan tatapannya dari wajah bocah kecil di hadapannya.

"Hai, aku Bayu. Aku sering melihatmu ke sini." Bayu mencoba membuka percakapan. Laluna masih diam terpaku menatap wajah anak lelaki itu. "Apa kau suka bunga?" Laluna mengangguk pelan dan kembali memandang bunga-bunga cantik di hadapannya. Bayu maju selangkah dan berjongkok di samping Laluna, menyentuh lembut bunga-bunga itu.

Entah berapa lama waktu yang berlalu, mereka berdua hanya diam memandang bunga-bunga itu. Bayu menunggu Laluna untuk bicara, namun gadis kecil itu tak kunjung bicara. Saat akhirnya Bayu hendak berdiri Laluna membuka mulutnya, "Sebentar lagi, temani aku di sini sebentar lagi."

Bayu tersenyum simpul.

Sunday, June 2, 2013

Penghuni Baru


“ Tap...tap...tap...” semua anak-anak penghuni panti asuhan Pertiwi berlarian ke lobi utama. Ada seorang penguni baru yang tiba hari ini. Semua anak sangat antusias untuk melihat penghuni baru tersebut. Karena panti asuhan ini sudah lama tidak menerima penghuni baru. Penghuni yang terakhir bergabung adalah Bayu, anak lelaki 10 tahun yang sangat pendiam dan selalu menyendiri itu. Seperti sekarang dia tidak antusias sama sekali untuk mengetahui ataupun sekedar melihat anak baru tersebut. Dia sama sekali tidak peduli. Dia hanya mengawasi tanpa semangat dari tangga utama.

“Jangan dorong-dorongan! Kalian bisa menakutinya.“ Bu Rahmi memberi aba-aba kepada semua penghuni panti untuk tertib. “Dan cobalah untuk bersikap ramah. Jangan membuat semua guru kalian di sekolah melakukan hal yang sia-sia.” Bu Rahmi adalah kepala panti asuhan ini. Dia seorang wanita paruh baya yang sangat baik namun tegas. Terlihat jelas guratan-guratan kelelahan diwajahnya yang mulai berkeriput. Dia sudah memimpin panti asuhan ini selama 20 tahun terakhir.

Mobil putih milik panti asuhan tiba di pintu depan bangunan ini. Membuat semua anak menahan nafas, bertanya-tanya siapakah anak baru ini, anak laki-laki atau perempuan, mengapa dia sampai berakhir di panti asuhan ini. Semua pertanyaan itu memenuhi benak hampir 20 anak yatim piatu yang menjadi penghuni panti asuhan ini. Pintu mobil terbuka, pak Heri, sopir sekaligus penjaga panti asuhan ini keluar dari mobil, membukakan pintu penumpang. Sekilas tampak samar sesosok gadis kecil yang sangat cantik memegang  boneka kelinci kumal dengan salah satu telinga yang nyaris putus. Semua pandangan mata tertuju kepada gadis kecil itu, gadis kecil dengan mata sembab dan berambut ikal itu, termasuk Bayu. Bayu menatap lekat gadis kecil itu, yang mungkin baru berusia sekitar 7 tahun itu, tanpa sadar dia menahan nafasnya. Seperti segala sesuatu terhenti saat itu juga.

Pak Heri menggandeng gadis kecil itu memasuki lobi bangunan utama panti. Gadis kecil itu dengan wajah takut-takut bersembunyi di belakang pak Heri. “Nah, ini rumah barumu, dan semua anak-anak disini akan menjadi temanmu.” Ucap pak Heri sambil berjongkok dan menatap gadis kecil itu. “Ayo perkenalkan dirimu, mereka semua ada di sini untuk menyambutmu.”

Gadis kecil itu terdiam sangat lama, memandangi anak-anak yang menunggu di hadapannya. Dengan ragu dia membuka mulutnya gamang, “Aku Laluna.”

Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulut kecilnya namun dua kata dengan suara yang gemetaran itu mampu membuat Bayu terenyuh. Satu pertanyaan mucul dibenaknya, ‘apa yang telah terjadi pada anak sekecil ini?’

Saturday, June 1, 2013

Lintang

          Ibunda guru,
          Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.
          Salamku, Lintang.


" SEORANG anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikitpun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi." Laskar Pelangi, hal. 430.

Entah kenapa minggu kemarin aku sangat ingin membaca kembali buku Laskar Pelangi karangan penulis hebat Andrea Hirata. Salah satu buku terbaik yang pernah aku baca. Sebuah buku yang menceritakan sebuah ironi besar dalam dunia pendidikan. Bagaimana kesenjangan sosial menawarkan kualitas pendidikan yang sangat jauh berbeda. Anak-anak melayu tak mampu, bertaruh dengan nasib mencoba meraih apa yang sudah seharusnya mereka raih. Para orangtua mempertaruhkan rupiah yang bisa didapat anak-anak melayu miskin itu jika mereka ikut bekerja, bukannya mengenyam bangku pendidikan. Semua dipertaruhkan mati-matian dengan harapan kelak sang anak mampu menaikkan derajat dan kualitas hidup keluarga. untuk kehidupan yang lebih baik.

LINTANG. Nama seorang anak yang mengubur mimpinya hari itu. Atau lebih tepatnya dipaksa mengubur mimpinya karena tak ada biaya. Karena ayahnya, pria cemara angin, satu-satunya tulang punggung keluarga itu telah mati. Anak lelaki pesisir miskin di salah satu pulau terkaya di Indonesia. Mimpi dan harapannya dibunuh oleh ironi kejam wajah pendidikan negeri ini. Seperti tikus yang mati kelaparan di lumbung padi.

Lintang hanya nama seorang anak korban ketidakpedulian negeri ini. Aku yakin di luar sana, di bagian bumi Indonesia lainnya, sampai saat ini masih banyak Lintang-Lintang lain yang harus mengandaskan mimpi-mimpi besar mereka hanya karena tidak memiliki biaya. Karena mimpi-mimpi mereka memudar ditelan busung-busung para pejabat yang bobrok.

Anak-anak kecil itu, anak-anak yang tidak tahu apa-apa itu, sampai saat ini, suara mereka tak pernahh didengar.

Lapuk

Masyaallah......

Satu tahun lebih sudah blog ini tak kusambangi. Kalau ibarat rumah, mungkin debunya udah 30cm ada ini. Jaring laba-laba dimana-mana, tikus, kecoa, sampah, dan kotoran-kotoran lainya. Untungnya ini bukan rumah.. hehhehee... *lari dari tanggung jawab

dear blogku tersayang, ampun yo udah menelantarkanmu sedemikian lama... sini tak mandiin, tak gantiin baju, tak refresh lagi.. biar sehat.

mulai sekarang insyaallah bakal mulai ngeblog lagi, mulai orat-oret lagi, cuap-cuap lagi. doain aja yo ini otak konsletnya ilang biar punya ide-ide nulis lagi.. hehehhee...

wes..wes.. tak tinggal tidur lagi yo.. #plak :P