Saturday, October 29, 2011

Saya tak sebaik ‘Indi’, tak sebaik ‘Mika’. juga tak sekuat mereka.



Bima bilang, aku pasti tolol kalau mau berpacaran dengan Mika. Ia bilang, Mika itu aneh dan bukan orang yang pantas untuk dipacari. Aku tidak mengerti. Jadi aku tanyakan alasannya. Bima bilang, itu karena Mika sakit AIDS.

aku bertanya pada Mika, “Apa AIDS membuatmu berhenti tertawa ketika kamu menonton film Mr.Bean?” Mika jawab “Tidak.”
“Apa AIDS membuatmu berhenti merasa bahwa coklat M&M’S adalah yang paling enak?” Mika jawab “Tidak.”
“Apa AIDS membuatmu berhenti berfikir bahwa Tuhan itu ada?” Mika jawab “Tidak.”
Lalu aku putuskan untuk berhenti bertanya. Karena aku segera yakin bahwa Bima salah. Tidak mungkin seseorang yang tertawa ketika menonton  Mr.Bean, menyukai coklat M&M’S dan percaya pada Tuhan itu tidak pantas untuk dipacari, kan?
- sinopsis ‘Waktu aku sama Mika’ - Indi

    Saat membaca sinopsis buku “Waktu aku sama Mika” ini, saya langsung tertarik. saya langsung memposisikan diri saya sebagai ‘Indi’ sang penulis. dan saya sadar saya tak sekuat dia, tak setegar dia, dan tak sebaik dia. saya pasti akan menjaga jarak dengan ‘Mika’. saya pernah beberapa kali berinteraksi langsung dengan orang yang terinfeksi HIV/AIDS, saat saya tergabung dalam survey narkoba pada penyalah guna. saya berinteraksi dengan mereka yang masih terlihat sangat bugar sampai dengan yang sudah terbaring lemah dengan selang-selang infus yang bergantungan. saat itu, saya cukup menjaga jarak dengan mereka -paranoid, tidak. kolot, ya.-, tetapi tanpa mereka sadari. bukannya saya tidak paham dengan cara penularan AIDS, saya hanya merasa saya perlu menjaga jarak. mungkin pengaruh pikiran kolot saya yang tak jauh beda dari orang kebanyakan. bahwa AIDS itu berbahaya. jika tertular tidak bisa disembuhkan, pikir saya. sedangkan Indi berpacaran dengan ‘Mika’, berinteraksi setiap hari. tanpa keraguan. itu butuh keberanian yang besar. dan tentu saja hati yang benar-benar tulus. 


      Dari buku ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita serap. bahwa untuk menjadi orang yang baik, kita tidak perlu menjadi sehat. untuk menjadi orang baik, kita hanya perlu menjadi baik. kita tidak bisa menilai kebaikan seseorang hanya melalui latar belakangnya ataupun penyakit yang dideritanya. SIAPAPUN bisa menjadi orang baik. entah itu orang yang terinfeksi AIDS, entah itu penyalah guna narkoba, entah dia penjaga toko yang sering kau datangi, entah dia pria bertato dan berambut gondrong yang sering kau temui di jalan, ataupun abang penarik becak yang becaknya selalu kau naiki setiap hari. begitu pula degan orang jahat. menjadi baik ataupun menjadi jahat adalah pilihan. semua kembali kepada keputusan dan keyakinan masing-masing orang. dan sekarang, andalah yang menentukan.


Monday, October 3, 2011

batas tak kasat mata

katakanlah beberapa waktu yang lalu masa liburanku selesai. setelah hampir sebulan berleha-leha di kampung halaman dan bercengkrama dengan keluarga, sudah saatnya untuk kembali ke rutinitas seorang mahasiswa. aku memesan travel seperti biasanya.. travel ini salah satu travel paling nyaman di kotaku.

setengah jam sebelum berangkat, travel yang kupesan menjemputku. aku sudah tahu bahwa yang akan menjemputku itu adalah 'dia', bukan. bukan mantan ku, bukan juga orang yang pernah kusuka. dia adalah tetanggaku, rumahnya berdepanan rumahku, membentuk garis diagonal. ntahlah disebut bersampingan atau berhadapan. oke bukan itu yang akan kita bahas.

dulu saat masih kecil, kami sering bermain bersama. hampir setiap hari malah. tapi seiring beranjaknya usia, saat kami sudah mulai menginjak masa remaja, mulai punya teman dari sekolah masing-masing, semua jelas berubah. kalau tidak salah usianya 2 tahun diatasku, atau sekitar itulah. saat itu dia mulai bergaul dengan pemuda-pemuda komplek yang lebih tua darinya, rata-rata dari mereka adalah pengangguran yang kerjanya mabuk di malam hari. karena kami sudah jarang sekali bermain bersama, jangankan untuk menasihatinya untuk bergaul dengan teman yang benar, bicara pun hampir tidak pernah. 

cerita tak berhenti disana. waktu tentu terus berjalan. masa-masa sma sebagian waktuku habis di sekolah. sekolah mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore, dilanjutkan bimbel malam di sekolah dari sebelum magrib sampai jam 10 malam. ditambah lagi saat kelas 3 sma aku masuk asrama. aku mulai dianggap sombong, jarang bergaul dengan tetangga dan sebagainya. 

kembali ke 'dia', awal-awal masuk sma, dari berita yang kudengar dia tidak menamatkan sekolahnya di sebuah sekolah kejuruan. bukan hanya itu, dia sudah menikah tanpa pesta. ya, istrinya hamil duluan atau bahasa gaulnya MBA. 

suatu hari, entah kapan aku lupa, aku melihatnya menggedong anaknya berjalan-jalan. kami berpapasan saat aku hendak ke warung. kami hanya saling tersenyum sekilas dan menunduk. waktu itu dia masih bekerja sebagai tukang ojek. setelah itu kami sangat jarang bertemu bahkan saat lebaran. 

suatu hari aku memesan travel untuk kembali ke kost ku, ternyata dia yang menjemput. kami sangat kaku. aku tidak tahu kalau dia sudah bekerja di kantor jasa travel. hanya ada kami berdua di dalam mobil itu. kami hanya diam. tidak ada yang mencoba membuka percakapan. terasa sangat janggal. bagaimana dulu 2 anak kecil yang sangat akrab, bermain bersama, tertawa bersama dapat berubah menjadi 2 orang asing yang seperti tidak saling mengenal. seolah ada batas tak kasat mata di sana. 

aku tidak pernah berpikir aku lebih baik dari dia ataupun sebaliknya. aku hanya berpikir bahwa saat ini kami sedang berada di koridor nasib kami masing-masing. menjalani kehidupan apa yang telah kami pilih dan mencoba untuk bertanggung jawab.